Alhamdulillah telah berlalu dan selesai sudah bulan Ramadhan yang begitu mulia. Bulan yang begitu Allah agung-agungkan dalam firmannya dengan berbagai keutamaan yang ada, begitu pula riwayat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Senang, pun juga sedih. Senang karena kita masih diberikan oleh Allah umur yang cukup dan berkesempatan untuk bertemu kembali dengan bulan suci Ramadhan untuk ke sekian kalinya, Allah memberikan kita waktu untuk sejenak istirahat dari kesibukan serta urusan dunia untuk kembali fokus beribadah di bulan yang Allah lipat gandakan pahala seorang hambanya ketika ia beribadah. Sedih, karena waktu yang Allah berikan begitu singkat dan cepat berlalu dan belum tentu Allah akan memberikan kesempatan di tahun-tahun yang akan datang untuk bertemu bulan yang agung ini.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang satu-satunya disebutkan oleh Allah dalam Alquran secara jelas dalam surat Al-Baqarah ayat 185 serta kewajiban bagi seorang muslim untuk melaksanakan puasa di bulan tersebut. Berbagai keutaman tentang ibadah puasa pun juga dapat kita temukan di hadits qudsi. Asshoumu lii wa anaa ajzii bihi. Puasa itu milikku kata Allah dan Aku sendiri yang mengganjarnya. Apa yang membuat puasa begitu spesial?
Ibadah puasa berbeda karena siapapun tidak ada yang mengetahuinya apakah seorang hamba benar-benar berpuasa (sedang beribadah) atau tidak kecuali Allah dan dirinya. Berbeda dengan ibadah lainnya seperti sholat, yang gerakannya jelas dan diketahui oleh semua orang, zakat pun juga begitu, haji dan lainnya. Sehingga Allah menempatkan posisi puasa seorang hamba sebagai miliknya dan hak prerogatif Allah untuk memberikan ganjaran tersebut tanpa ada yang mengetahui.
Dalam puasa kita belajar secara suka rela untuk tidak melakukan apa yang sebenarnya menjadi hak kita. Belajar mengontrol hawa nafsu dengan tidak makan dan minum dari terbit fajar hingga matahari terbenam, dengan tidak melampiaskan segala hal dilarang seblumnya ketika diperbolehkan dengan sepuasnya. Karena seharusnya dengan puasa ikut membantu sedikit menekan pengeluaran kita untuk menjadi lebih hemat karena tidak makan dan minum selama sehari penuh.
Maka logikanya jika kita makan tiga kali sehari, dengan berpuasa kita hanya makan dua kali sehari di waktu sahur dan buka. Jika sekali makan menghabiskan sepuluh ribu, maka dengan berpuasa pengeluaran harian kita yang semestinya 30 ribu untuk makan berkurang menjadi 20 ribu. Yang terjadi di lingkungan kita saat ini adalah sebaliknya. Belanja berlebihan karena lapar mata dan akhirnya terbuang tidak termakan. Tidak heran jika harga bahan pangan naik karena presentase daya beli masyarakat menjulang tinggi di bulan Ramadhan. Apalagi mendekati Idulfitri. Lantas dimana nilai puasanya? Apakah kita yakin bahwa puasa—dengan boros—seperti inilah yang Allah mau?
Dengan puasa kita dapat mengukur dan mengontrol kebutuhan tubuh kita sendiri agar tidak overdosis karena terlalu banyak maupun underdosis karena terlalu sedikit. Karena ukuran pas nya ada di tengah-tengah. Seimbang. Khairul umuuri ausathuhaa. Karena segala sesuatu yang berlebihan itu berbahaya dan tidak baik.
Di dalamnya kita juga belajar bahwa dengan berpuasa kita belajar untuk berkorban, bisa melakukan hal yang tidak kita sukai demi kebaikan. Sama halnya ketika lapar dalam berpuasa. Semua orang suka makan, tapi dengan berpuasa ikhlas karena Allah dapat menghantarkan kita kepada derajat kemuliaan di sisi-Nya.
Menginjak 10 hari terakhir Ramadhan, beberapa masjid mulai mengadakan program i’tikaf sampai idulfitri tiba, antusiasme para masyarakat mulai dari kalangan mahasiswa hingga bapak-bapak begitu hebat berlomba-lomba dalam kebaikan. Selama sepuluh hari diisi dengan kegiatan positif untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Di 10 hari terakhir ini jugalah Allah menurunkan Alquran secara utuh dari lauhil mahfudz ke baitul-izzah ketika lailatul qadr. Malam yang Allah sebutkan berbagai keutamannya lengkap dalam surat Alqadr.
Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Idulfitri datang setelah sebulan penuh lamanya kita menahan lapar dan haus dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Momen yang indah untuk kembali berkumpul bersama keluarga, saling memaafkan serta menjalin silaturahim satu sama lain. Menikmati berbagai macam hidangan nikmat setelah berpuasa sebulan penuh sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah subhanahu wata’ala.
Idulfitri terdiri dari dua kata, yaitu Ied berarti kembali dan fitr yang artinya fitrah. Maka Idulfitri adalah kembali kepada fitrah seorang manusia. Dr. Abdul Muhsin Jum’ah salah seorang dosen tafsir di International Islamic University Islamabad (IIUI) mengatakan bahwa fitrah manusia terdiri dari dua hal. Yaitu jasad dan ruuh yang keduanya sama-sama membutuhkan ‘makanan’ untuk tetap bertahan hidup. Maka masih di suasana Idulfitri ini, kita kembali memberikan asupan gizi berupa makanan untuk kesehatan jasad kita, dan tetap memberikan ‘asupan gizi’ untuk ruuh kita berupa ibadah yang ikhlas karena kasih sayang hamba kebada Allah, terus belajar dan memperbaiki diri untuk meningkatkan keimanan kita kepada-Nya.
Idulfitri adalah ketika kita bisa sukses menerapkan kesharian kita selama di bulan suci ramadhan mulai dari qiyamullail tadarus Alquran dan hal-hal positif lainnya kedalam kehidupan kita sehari-hari ikhlas karena Allah. Bukan semata karena momentum Ramadhan dengan beribu kemuliannya lantas kita berhenti memperbanyak dan melipat gandakan ibadah kita.
Allah berfirman dalam hadits qudsi. Lau lam akhluqu jannatan wa laa naaran, alam akun ahlan an u’bad. Jika tidak kuciptakan surga dan neraka kata Allah, apakah aku—masih—berhak untuk disembah? Maka kita perbarui sekali lagi niat kita bersama. Apakah seluruh aktivitas yang kita lakukan selama sebulan penuh semata karena ganjaran yang Allah berikan atau ikhlas karena kecintaan hamba kepada Tuhannya yang tak lekang oleh ruang dan waktu.