bokeh_macro_branch_foliage_autumn_87042_2048x1152

Jadi ketika Nabi Musa AS dikejar-kejar bala tentara Fir’aun pada saat diusir dari Mesir Nabi Musa dan para rombongannya lari hingga sampai di tepi pantai. Lantas pengikutnya heran, dalam situasi seperti ini pengikutnya protes dengan perintah Nabi Musa. Dalam posisi dikejar seperti ini bukannya lari untuk bersembunyi di gunung-gunung atau bukit malahan lari ke tepi pantai dan membuat mereka terjebak.

Ketika sampai di tepi pantai laut merah Allah SWT memerintahkan “idhrib biasookal bahr.” Pukulkanlah tongkatmu ke lautan kata Allah. Belum habis rasa heran ummatnya yang ikut bertambah lagi dengan tindakan Nabi Musa yang memukulkan tongkatnya ke lautan. Lantas apa hubungannya dalam posisi Ia yang tengah terjebak dengan dipukulkan tongkatnya kelautan sesuai dengan yang Allah perintahkan, seharusnya bathuknya Fir’aun itu yang dipukul. Ini malah laut.

Ditengah keadaan genting seperti ini, Nabi Musa tiba-tiba sakit perut. Maka mengeluhlah ia kepada Allah dan memohon untuk menyembuhkannya. Maka Nabi Musa disuruh oleh Allah  untuk pergi masuk ke dalam hutan.

“Sana! Kamu masuk ke dalam hutan, disana ada daun jeruk makan itu. Akan sembuh sakit perutmu itu” kata Allah. Ketika Nabi Musa sampai di pohon yang dimaksud. Baru saja ia memegang daun tersebut dan belum sampai memakannya, sakit perut Nabi Musa tiba-tiba hilang.  Maka kembalilah ia kepada kaumnya.

Baru saja ia sampai di tempatnya, Nabi Musa baru duduk, sakit perutnya kumat lagi. Akhirnya, ia langsung kembali ke hutan menuju pohon yang dimaksud, ia makan daun pohon jeruk tersebut, sehelai dua helai hingga ber helai-helai daun yang ia makan, tak kunjung sembuh sakit perutnya. Maka, mengeluhlah Nabi Musa kepada Allah.

“Ya Allah sakit perutku ini kok tidak hilang-hilang, padahal tadi Engkau memerintahkanku untuk memakan daun jeruk ini.”

Kemudian Allah menjawab, “Tadi sakit perut yang pertama ‘kan kamu memohon kepadaku untuk menyembuhkanmu, sedangkan sakit perut yang kedua kamu langsung asal makan saja tanpa meminta kepadaku, padahal yang menyembuhkan sakitmu itu aku bukan helai daun yang kau makan.”[1]

Dari kisah Nabi Musa diatas, banyak pelajaran yang kita dapat. Ada posisi dimana kita harus benar-benar taat dan tawakkal murni karena perintah Allah SWT. Allah tahu bahwa larinya Nabi Musa ke tepi pantai laut merah adalah apa yang baik buat mereka. Asaa an takrahuu syai’an wa hua khairun lakum, wa asaa an tuhibbu syai’an wahua syarrun lakum. Meskipun terkadang apa yang Allah perintahkan benar-benar jauh dari nalar otak manusia. Nalar manusia normal sama sekali tidak bisa menebak di bolonginya kapal yang ditumpangi Nabi Khidir adalah justru menyelamatkan mereka dari perampok. Satu-satunya pembunuhan Nabi Khidir terhadap anak kecil yang dilegitimasi oleh Allah karena Allah tahu bahwa suatu saat nanti ia akan menjadi anak yang durhaka kepada orang tuanya. Tidak masuk akal.

Karena ketaatan Nabi Musa akan perintah Allah untuk mengikuti jalan yang diperintahkan hingga membawa ia ke tepi pantai yang tidak masuk akal menurut akal manusia, ternyata adalah terbaik yang Allah tunjukkan untuk mereka. Wa anjainaa musaa wa man ma’ahu ajma’iin. Tsumma aghraqnaa-l aakhariin.

Dipukulkannya tongkat Nabi Musa kelautan sehingga terbelahnya laut pun tidak bisa diartikan bahwa yang dipegang Musa adalah ‘tongkat sakti’ sehingga Nabi Musa disebut ‘orang sakti’ yang mampu menggunakannya. Sebab jika hari-hari berikutnya—misalnya—kamunya meminta Nabi Musa untuk kembali membelah lautan dengan cara dan tongkat yang sama, maka belum tentu laut akan terbelah seperti ketika menghindari kejaran Fir’aun. Maka, yang membuat laut terbelah bukanlah Musa ataupun ‘tongkat saktinya’ melainkan perintah dan kehendak Allah SWT.

Begitu juga dengan sakit perut yang dialaminya pada saat itu. Manusia terkadang sering merasa bahwa ia adalah makhluq paling sempurna sehingga merasa bahwa segala sesuatu dapat ia lakukan karena kapabilitas yang dimiliknya. Seorang profesor yang yakin bahwa segala masalah yang ada dapat ia pecahkan dengan akal cerdasnya. Seorang dokter yang percaya bahwa segala penyakit dapat ia sembuhkan karena kemampuannya sebagai seorang dokter spesialis. Seorang politisi yang dapat mengontrol sistem negara dengan otak briliannya, dan sebagainya. Padahal tidak seperti itu. Semuanya murni dan mutlaq karena kehendak Allah SWT, hamba hina dina seperti kita hanya sebagai pemohon kepada Dzat Yang Mahakuasa. Semua kecerdasan, kesembuhan, hanyalah milik Allah SWT. Selalu dan senantiasa kita berdoa semoga ‘sakit perut’ kita ini disembuhkan oleh Allah SWT. Amien ya Rabbal Alamien …

[1] Kisah Nabi Musa dikutip dari ceramah Cak Nun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.