quran-surat-al-fatihah-1024x768
source: google image

 

Shalat adalah ibadah yang sangat sakral, sehingga kita harus benar-benar berhati-hati dan teliti ketika menunaikannya serta mengetahui tatacara pelaksanannya dengan baik dan benar. Setelah takbiratul ihram membaca al-Fatihah merupakan salah satu rukun shalat yang harus dipenuhi, akan tetapi bagaimanakah cara membaca basmalah sebelum surat al-Fatihah ketika sholat?

Mungkin sangat tidak asing bagi kita yang tinggal di Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi’i yang membaca basmlah sebelum al-Fatihah dengan jelas, akan tetapi jika kita pergi ke negara lain seperti Pakistan contohnya sebagai negara bermadzhab Hanafi yang direndahkan suaranya ketika membaca (sirr) serta apa alasannya? Kita simak pendapat para ulama’ terkait hal tersebut.

A. Pendapat para ulama

  1. Madzhab Syafi’i

Dalam kitab Al-Bayan fi Madzhabi al-Imam as-Syafi’i karangan Abu Husain Yahya (558 H) disebutkan:

واختلف أهل العلم في الجهر بـ: {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} [الفاتحة: 1] فيما يجهر به من الصلوات: فذهب الشافعي إلى: أنه يجهر بها – بأول الفاتحة، وفي أول السورة – فيما يجهر به من القراءة في الصلاة، ويسر بها فيما يسر بالقراءة في الصلاة

[1]

Dan para ahli ilmu berbeda pendapat sebelum membaca al-Fatihah membaca secara jelas (Bismillahir-rahmanirrahim) [al-Fatihah:1] tentang membacanya dengan jelas dalam shalat. Maka Syafi’i berpendapat: Bahwasanya membacanya dengan jelas—dalam awal surat Al-Fatihah, dan sebelum membaca surat—seperti ketika membaca surat ketika shalat, dan dibaca secara sirr (pelan) ketika membaca secara sirr ketika shalat.

Alasan mengapa diharuskan membaca basmalah secara jelas sebelum al-Fatihah menurut mereka karena basmalah merupakan ayat dari surat al-Fatihah sehingga diharuskan untuk membacanya secara jelas. Abu Husain Yahya menyatakan:

ويجب أن يبتدئها بـ: {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} [الفاتحة: 1] وهي آية منها، بلا خلاف على المذهب. وهل هي آية من أول كل سورة غير براءة؟ الظاهر من المذهب: أنها آية من أول كل سورة غير براءة؛ لأن الصحابة – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – أثبتوها في أول كل سورة غير براءة، ولم يثبتوا بين الدفتين غير القرآن

[2]

Dan diwajibkan untuk memulai membaca al-Fatihah dengan (Bismillahirramanirrahim) [al-Fatihah:1] karena lafadz basmalah adalah bagian dari ayat surat al-Fatihah, tanpa ada perbedaan pendapat dalam madzhab. Dan apakah basmalah ayat dari awal setiap surat kecuali baraa’ah? Pendapat yang jelas dari para ulama’ madzhab bahwasanya basmalah merupakan ayat dari setiap surat kecuali baraa’ah. Karena para sahabat menetapkannya di setiap awal surat kecuali baraa’ah.

Imam an-Nawawi (676 H) dalam kitabnya al-Majmu’ Syarhu Muhadzzab menyatakan:

أَمَّا حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ فَمَذْهَبُنَا أَنَّ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ آيَةٌ كَامِلَةٌ مِنْ أَوَّلِ الْفَاتِحَةِ بِلَا خِلَافٍ وَلَيْسَتْ فِي أَوَّلِ بَرَاءَةَ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَّا بَاقِي السُّوَرِ غَيْرِ الْفَاتِحَةِ وَبَرَاءَةَ فَفِي الْبَسْمَلَةِ فِي أَوَّلِ كُلِّ سُورَةٍ مِنْهَا

[3]

Sedangkan hukum membaca basmalah dalam madzhab Syafi’i bahwasanya lafadz basmalah adalah ayat lengkap dari awal surat al-Fatihah tanpa perbedaan pendapat dan bukan awal dari surat baraa’ah dengan Ijma’ ulama’. Sedangkan surat lainnya selain baraa’ah basmalah merupakan awal dari setiap surat tersebut.

  1. Madzhab Hanbali

Ibnu Qudamah (620 H) dalam kitabnya al-Kaafi fi Fiqhi Imam Ahmad menyatakan:

يقرأ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، ولا يجهر بها، لما روى أنس بن مالك قال: «صليت خلف النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وأبي بكر وعمر وعثمان، فلم أسمع أحداً منهم يجهر ببسم الله الرحمن الرحيم» . رواه البخاري ومسلم

[4]

Bismillahirrahmanirrahim dibaca dan tidak dibaca secara nyaring, seperti riwayat Anas bin Malik berkata: “Aku sholat di belakang Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta Abu Bakar, Umar, dan Utsman, lalu aku tidak mendengar siapapun dari mereka menjelaskan bacaan bismillahirrahmanirrahim” Riwayat Bukhari Muslim.

Ada dua pendapat yang dijadikan landasan dasar dibacanya basmalah dengan pelan menurut ulama’ hanabilah, yaitu:

إحداهما: أنها آية من الفاتحة، اختارها أبو عبد الله بن بطة، وأبو حفص، لما روت أم سلمة أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «قرأ في الصلاة. بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، وعدها آية، والحمد لله رب العالمين آيتين» ، ولأن الصحابة أثبتوها في المصاحف فيما جمعوا من القرآن، فدل على أنها منها

[5]

Salah satunya adalah, sesungguhnya basmalah merupakan bagian dari surat al-Fatihah, pendapat ini dipilih oleh Abu Abdullah bin Batthah dan Abu Hafsh, sebagaimana riwayat Ummu Salamah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam “Membaca dalam sholat bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi rabbil-‘alamin dua ayat.”  Dan karena para sahabat menetapkannya sebagai bagian dai mushaf sebagaimana mereka mengumpulkan Alquran, lalu berdalil bahwa basmalah bagian dari al-Fatihah.

Pendapat kedua dari ulama’ hanabilah yang menyatakan bahwa basmalah bukan bagian dari surat al-Fatihah. Dalam kitab al-Mughni li Ibni Qudamah di sebutkan:

فَقِيلَ عَنْهُ: هِيَ آيَةٌ مُفْرَدَةٌ كَانَتْ تَنْزِلُ بَيْنَ سُورَتَيْنِ، فَصْلًا بَيْنَ السُّوَرِ. وَعَنْهُ: إنَّمَا هِيَ بَعْضُ آيَةٍ مِنْ سُورَةِ النَّمْلِ. كَذَلِكَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَعْبَدٍ، وَالْأَوْزَاعِيُّ: مَا أَنْزَلَ اللَّهُ ” بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ” إلَّا فِي سُورَةِ {إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} [النمل: 30]

[6]

Maka dikatakan bahwa basmalah adalah ayat terpisah yang turun diantara dua surat, sebagai batas antara surat-surat dalam Alquran. Sesungguhnya basmalah juga bagian dari ayat surat an-Naml. Seperti itu pula yang dikatakan oleh Abdulah bin Ma’bad, dan al-Auza’iy: Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan bismillahirrahmanirrahim sebgai ayat kecuali dalam surat an-Naml ayat 30.

  1. Madzhab Hanafi

Fakhruddin az-Zaila’iy (743 H) dalam kitabnya Syarhu Kanzu ad-Daqaa’iq menyatakan:

قَالَ – رَحِمَهُ اللَّهُ – (وَسَمَّى سِرًّا فِي كُلِّ رَكْعَةٍ) وَقَالَ الشَّافِعِيُّ يَجْهَرُ بِالتَّسْمِيَةِ عِنْدَ الْجَهْرِ بِالْقِرَاءَةِ

[7]

Imam Abu Hanifah Rahimahullah berkata bahwa basmalah dibaca secara pelan di setiap raka’atnya, akan tetapi Imam Syafi’i berpendapat bahwa melafalkan basmalah harus secara jelas ketika membacanya.

Diantara alasan dibacanya basmalah secara pelan adalah:

قال: الحمد لله رب العالمين، هي السبع المثاني والقرآن العظيم الذي أوتيته. فأخبر أنها السبع المثاني، ولو كانت البسملة آية منها لكانت ثمانيا، لأنها سبع آيات بدون البسملة

[8]

Rasulullah SAW bersabda: “Alhamdulillahi rabbil’alamin, adalah sab’ul-matsaani dan Alquran yang mulia yang telah diturunkan kepadaku oleh Nya.” Maka dikabarkan bahwa surat al-Fatihah adalah sab’ul-matsaani, jika basmalah adalah bagian dari surat al-Fatihah, maka ayatnya akan menjadi delapan, karenanya adalah tujuh ayat tanpa basmalah.

وَمِمَّا اُسْتُدِلَّ بِهِ لِمَذْهَبِنَا حَدِيثُ «قَسَمْت الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ» إلَى آخِرِهِ فَإِنَّهُ لَمْ يَذْكُرْ الْبَسْمَلَةَ فَدَلَّ أَنَّهَا لَيْسَتْ مِنْ الْفَاتِحَةِ

Dan dari madzhab kami—hanafi—berdalil dengan sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW tidak menyebutkan basmalah sebagai dalil bahwa basmalah bukan bagian dari surat al-Fatihah.

(وَهِيَ) أَيْ الْبَسْمَلَةُ (آيَةٌ مِنْ الْقُرْآنِ أُنْزِلَتْ لِلْفَصْلِ بَيْنَ السُّوَرِ لَيْسَتْ مِنْ الْفَاتِحَةِ، وَلَا مِنْ كُلِّ سُورَةٍ) بَيَانٌ لِلْأَصَحِّ مِنْ الْأَقْوَالِ وَفِيهِ رَدٌّ عَلَى مَنْ يَقُولُ إنَّهَا لَيْسَتْ بِآيَةٍ فِي غَيْرِ سُورَةِ النَّمْلِ

[9]

Dan Basmalah adalah ayat dari Alquran yang diturunkan sebagai pembatas antara dua surat dan bukan bagian dari al-Fatihah, dan bukan dari semua surat kecuali surat an-Naml.

Surat al-Fatihah adalah tujuh ayat sesuai dengan firman Allah SWT pada surat Al-Hijr surat ke 15 ayat 87 yang berbunyi:

وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ  الحجر:87

Artinya: “Dan sungguh, kami telah memberikan kepadamu tujuh (ayat) yang (dibaca) berulang-ulang dan Alquran yang agung.”

Jika surat al-Fatihah adalah tujuh ayat tanpa basmalah, maka ada dua pendapat yang menyatakan sebagai salah satu ayatnya. Pendapat pertama adalah, setalah kalimat (iyyaka na’budu) sebagai ayat ke empat. Sedangkan pendapat kedua adalah setelah bunyi ayat (an’amta ‘alaihim) sebagai ayat ke enam seperti yang disebutkan Abu Daud dan an-Nasa’i dengan sahih mereka.

ابتدأ القسمة بالحمد لله رب العالمين دون البسملة، فلو كانت منها لابتدأ بها. وأيضا فقد جعل النصف {إِيَّاكَ نَعْبُدُ} [الفاتحة:5] فيكون ثلاث آيات لله تعالى في الثناء عليه وثلاث آيات للعبد، وآية بينهما، وفي جعل التسمية منها إبطال هذه القسمة فيكون باطلا. وأيضا أنه قال: يقول العبد: اهدنا الصراط المستقيم إلى آخرها، ثم قال: هؤلاء لعبدي، هكذا ذكره أبو داود والنسائي بإسنادين صحيحين، وهو جمع، فيقتضي ثلاث آيات، وعلى قول الشافعي يكون اثنين وللباري أربع ونصف إذا لم يعدوا {أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ} [الفاتحة:7] آية

[10]

  1. Madzhab Maliki

Al-Qarrafi (684 H) dalam bukunya adz-Dzakhirah menyatakan:

الْبَسْمَلَةُ وَفِيهَا أَرْبَعَةُ مَذَاهِبَ الْوُجُوبُ لِ (ش) وَالْكَرَاهَةُ لِمَالِكٍ وَالنَّدْبُ لِبَعْضِ أَصْحَابِنَا وَالْأَمْرُ بِهَا سِرًّا عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ فِي الْكِتَابِ لَا يَقْرَأُ الْبَسْمَلَةَ فِي الْمَكْتُوبَةِ سِرًّا وَلَا جَهْرًا إِمَامًا أَوْ مُنْفَرِدًا وَهُوَ مُخَيَّرٌ فِي النَّافِلَةِ

[11]

Ada empat madzhab yang mewajibkan membaca basmalah ketika shalat, dan karahah (makruh) dalam madzhab Maliki dan nadhb (sunnah) untuk sebagian dari ulama’ Maliki. Dan membacanya secara pelan menurut Hanafiah. Tidak dibaca basmalah di dalam sholat-sholat fardhu baik pelan maupun nyaring, baik imam (berjamaah) maupun sendiri dan diperbolehkan untuk memilih dalam shalat-shalat sunnah.

Sebab makruhnya membaca basmalah dalam sholat menurut ulama Maliki adalah:

ابْتَدَأَ – رَحِمَهُ اللَّهُ – بِالْبَسْمَلَةِ اقْتِدَاءً بِالْكِتَابِ الْعَزِيزِ فَإِنَّ الْعُلَمَاءَ مُتَّفِقُونَ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْبَسْمَلَةِ فِي أَوَّلِهِ فِي غَيْرِ الصَّلَاةِ، وَإِنْ قُلْنَا: إنَّ الْبَسْمَلَةَ لَيْسَتْ آيَةً مِنْ الْفَاتِحَةِ

[12]

Imam Malik Rahimahullah memulai dengan basmalah sebagai awalan dalam Alquran sebab para Ulama’ sepakat atas penggunaan basmalah sebagai awalan kecuali dalam shalat. Maka kami mengatakan: sesungguhnya basmalah bukan bagian dari al-Fatihah.

ص (وَكُرِهَا بِفَرْضٍ) ش: قَالَ الْفَاكِهَانِيُّ فِي شَرْحِ قَوْلِ الرِّسَالَةِ: لَا تَسْتَفْتِحْ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ تَتَعَلَّقُ بِثَلَاثَةِ أَطْرَافٍ: (الْأَوَّلُ) أَنَّ الْبَسْمَلَةَ لَيْسَتْ عِنْدَنَا مِنْ الْحَمْدِ وَلَا مِنْ سَائِرِ الْقُرْآنِ إلَّا مِنْ سُورَةِ النَّمْلِ. (الثَّانِي) أَنَّ قِرَاءَتَهَا فِي الصَّلَاةِ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ وَالْأَوْلَى أَنْ يَسْتَفْتِحَ بِالْحَمْدِ. (الطَّرَفُ الثَّالِثِ) أَنَّهُ إنْ قَرَأَهَا لَمْ يَجْهَرْ فَإِنْ جَهَرَ بِهَا فَذَلِكَ مَكْرُوهٌ.

[13]

 

Al-Fakihani dalam Syarh Qauli Risalah berkata: tidaklah membaca basmalah dalam shalat sebelum surat al-Fatihah, permasalahan ini berkaitan dengan tiga hal: pertama, Menurut para ulama’ malikiyah basmalah buan bagian dari al-Fatihah maupun seluruh surat dalam Alquran kecuali surat an-Naml. Kedua, bahwasanya membaca basmalah dalam shalat tidak diperbolehkan dan dianjurkan untuk memngawali langsung dengan al-Hamd (al-Fatihah). Ketiga, membaca basmalah dengan pelan, karena jika dibaca secara nyaring maka hukumnya makruh.

Al-Hajjah dalam kitab Fiqhul-ibadaat ‘alaa madzhabi al-Maliki menyatakan

تكره البسملة في الصلاة المفروضة، سواء كانت سرية أو جهرية

[14]

Membaca basmalah makruh hukumnya dalam sholat fardhu, baik dibaca secara nyaring ataupun pelan.

B. Kesimpulan

Dari penjelasan diatas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa sebab utama perbedaan pendapat ulama’ dalam membaca basmalah sebelum surat al-Fatihah, antara dibaca dengan nyaring atau pelan adalah posisi basmalah dalam surat al-Fatihah itu sendiri apakah bagian dari surat al-Fatihah atau bukan. Ulama’ Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa basmalah merupakan bagian dari al-Fatihah sehingga wajib membacanya dengan nyaring.

Sedangkan Ulama’ Hanabilah dan Hanafiyah diantara para ulama’ dalam madzhab mereka, sebagian berpendapat bahwa basmalah merupakan bagian dari surat al-Fatihah sedangkan sebagian mengatakan bukan bagian darinya. Sehingga, membaca basmalah dalam sholat menurut Hanabilah dan Malikiyah dilakukan secara pelan. Lantas, jika basmalah bukan bagian dari surat al-Fatihah, apakah tetap menjadi tujuh ayat sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hijr? Al-Fatihah tetap tujuh ayat, ada dua pendapat didalamnya. Pendapat pertama mengatakan setalah ayat Iyyaka na’budu adalah ayat ke empat. Pendapat kedua adalah, setelah ayat An’amta ‘alaihim sebagai ayat ke enam.

Ulama’ Malikiyah memakruhkan membaca basmalah sampai level kuriha bi fardhin—sangat dibenci—karena para ulama’ malikiyah sepakat bahwa basmalah bukan bagian dari surat al-Fatihah melainkan ayat yang turun terpisah sebagai pembuka dan batas antar surat.

Wallahu a’lam bisshowaab.

[1] Abu Husain Yahya (558 H). Al-Bayan fi Madzhabi al-Imam as-Syafi’i. 185/2

[2] Ibid. 182/2

[3] An-Nawawi (676 H). Al-Majmu’ Syarhu Muhadzzab. 333/3

[4] Ibnu Qudamah (620 H). Al-Kaafi fi Fiqhi Imam Ahmad. 245/1

[5] Ibid. 246/1

[6] Al-Mughni li Ibni Qudamah. 347/1

[7] Fakhruddin az-Zaila’iy (743 H). Syarhu Kanzu ad-Daqaa’iq. 112/1

[8] Al-‘Ainy (855 H). Al-Binayah Syarhu al-Hidayah. 196/2

[9] Damad Afandi (1078 H). Mujma’u al-Anhar fi Syarhi Multaqo al-Abhar. 95/1

[10] Al-‘Ainy (855 H). Al-Binayah Syarhu al-Hidayah. 194/2

[11] Al-Qarrafi (684 H). Adz-Dzakhirah. 176/2

[12] Al-Hatthab ar-Ru’iny (954 H). Mawahibul-jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil. 10/1

[13] Ibid. 544/1

[14] Al-Hajjah. Fiqhul-Ibadaat ‘alaa Madzhabi al-Maliki.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.