wudhu

Para ulama madzhab berbeda pendapat tentang batalnya wudhu’ seseorang apabila seorang laki-laki menyentuh perempuan yang bukan muhrimnya dengan alasan tertentu.

A. Pendapat para ulama

Disebutkan dalam kitab Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtashid, para ulama berpendapat:

  1. Madzhab Syafi’i

فذهب قوم إلى أن من لمس امرأة بيده مفضيا إليها ليس بينه وبينها حجاب ولا ستر فعليه الوضوء، وكذلك من قبلها ; لأن القبلة عندهم لمس ما، سواء التذ أم لم يلتذ وبهذا القول قال الشافعي وأصحابه.

[1]

   Imam Syafi’i berpendapat bahwa apabila seseorang laki-laki menyentuh perempuan secara langsung tanpa ada hijab atau pembatas diantara keduanya maka diharuskan untuk berwudhu (batal wudhunya). Dan begitupula mengecup; karena kecupan menurut mereka menyentuh, sama baik dengan nikmat (syahwat) ataupun tidak.

  1. Madzhab Maliki

وذهب آخرون إلى إيجاب الوضوء من اللمس إذا قارنته اللذة أو قصد اللذة. في تفصيل لهم في ذلك، وقع بحائل أو بغير حائل بأي عضو اتفق ما عدا القبلة، فإنهم لم يشترطوا لذة في ذلك، وهو مذهب مالك وجمهور أصحاب.

 [2]

   Ulama lainnya berpendapat bahwa diwajibkan berwudhu jika menyentuhnya dengan nikmat (syahwat), dan tidak diwajibkan jika menyentuh tanpa syahwat.

  1. Madzhab Hanbali

Sependapat dengan Madzhab Maliki, Madzhab hanbali membatalkan wudhu jika menyentuhnya seorang laki-laki dengan syahwat terhadap perempuan yang bukan muhrimnya. Dalam kitab Al-Mughni disebutkan:

قَالَ: وَمُلَاقَاةُ جِسْمِ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ لِشَهْوَةٍ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِ أَحْمَدَ – رَحِمَهُ اللَّهُ -، أَنَّ لَمْسَ النِّسَاءِ لِشَهْوَةٍ يَنْقُضُ الْوُضُوءَ، وَلَا يَنْقُضُهُ لِغَيْرِ شَهْوَةٍ.

 [3]

   Menyentuhnya badan seorang lelaki terhadap perempuan dengan syahwat umum diketahui di Madzhab Ahmad—Rahimahullah—Bahwa menyentuh seorang perempuan dengan syahwat membatalkan wudhu, dan tidak membatalkan jika tanpa syahwat.

  1. Madzhab Hanafi

Berbeda dengan pendapat tiga madzhab diatas yang menganggap batal wudhunya atau tidak batal jika dengan syarat tertentu, Madzhab Hanafi berpendapat bahwa menyentuhnya kulit laki-laki perempuan yang bukan muhrimnya tidak membatalkan wudhu. Dalam kitab Bidayah disebutkan:

ونفى قوم إيجاب الوضوء لمن لمس النساء وهو مذهب أبي حنيفة، ولكل سلف من الصحابة.

 [4]

   Ada kelompok yang menafikan kewajiban wudhu bagi mereka yang menyentuh perempuan dan mereka adalah Madzhab Abu Hanifah, dan semua ulama terdahulunya.

B. Sebab perbedaan pendapat

Adapun penyebab perbedaan pendapat para ulama diatas adalah perbedaan makna kalimat lamsu dalam bahasa arab, makna sebenarnya dalam bahasa arab apakah kata lamsu tersebut berarti menyentuh dengan tangan atau jima’. Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 43 ( أو لامستم النساء ). Adapun Madzhab Syafi’i memaknai lafadz lamsu sebagai makna ‘aam yang berarti menyentuh secara keseluruhan baik dengan syahwat maupun tidak. Sedangkan Madzhab Maliki dan Hanbali memaknai kata lamsu disini sebagai makna kh­­aas maka yang dimaksud adalah menyentuhnya dengan syahwat. Sesuai dengan hadits Rasulullah yang berbunyi:

عن عائشة عن النبي – صلى الله عليه وسلم -: «أنه قبل بعض نسائه، ثم خرج إلى الصلاة ولم يتوضأ، فقلت: من هي إلا أنت؟ فضحكت

 [5]

   Dari Aisyah RA bahwa Nabi SAW: “Seseungguhnya ia mengecup sebagian isterinya kemudian shalat dan belum berwudhu, kemudian ia berkata: Siapa dia kecuali kamu? Kemudian tertawalah ia

Madzhab Hanafi memahami makna lamsu  sebagai makna majazi bukan makna haqiqi seperti yang disebutkan para ulama’ madzhab sebelumnya. Maka, makna majazi dari kata lamsu dalam surat An-Nisa ayat 43 tersebut adalah jima’. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan:

أن اللمس وإن كانت دلالته على المعنيين بالسواء أو قريبا من السواء أنه أظهر عندي في الجماع وإن كان مجازا ; لأن الله – تبارك وتعالى – قد كنى بالمباشرة والمس عن الجماع وهما في معنى اللمس، وعلى هذا التأويل في الآية يحتج بها في إجازة التيمم للجنب.

 [6]

   Bahwasanya menyentuhnya tersebut mempunyai dua makna; dengan keburukan atau mendekati keburukan dan yang lebih jelas menurut saya adalah jima’ jika secara majaz. Karena Allah SWT telah menyebut secara langsung dan menyentuh—massu—terhadap jima’ dan keduanya dalam makna menyentuh—lamsu—dan berdasarkan ta’wil ini diperbolehkannya tayammum untuk orang junub.

Jadi kesimpulannya, Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa wudhunya laki-laki yang menyentuh perempuan non-muhrim tanpa batas apapun dianggap batal. Madzhab Maliki dan Hanbali sepakat bahwa jika menyentuhnya dengan syahwat maka membatalkan wudhunya, dan tidak jika menyentuh tanpa syahwat. Sedangkan Madzhab Hanafi berpendapat tidak batal wudhunya seorang laki-laki jika menyentuh perempuan bukan muhrimnya.

   Wallahu a’lam bisshowaab.

[1] Abu al-Walid Muhammad. Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtasid. 1/43

[2] Ibid.

[3] Abu Muhammad. Al-Mughni li Ibni Qudamah. 1/141

[4] Abu al-Walid Muhammad. Bidayatu al-Mujtahid wa Nihayatu al-Muqtasid. 1/44

[5] Ibid.

[6] Ibid.

9 Replies to “Hukum Batalnya Wudhu jika Menyentuh Perempuan Bukan Mahrom”

    1. Hanya karena mayoritas di Indonesia adalah Syafi’i belum tentu kita harus memilih madzhab tersebut, yang lebih penting kita tahu alasannya dan memilih mana yang kita yakini dan menurut kita benar tanpa menyalahkan orang lain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.